Teori Agenda Setting
Istilah agenda
setting diciptakan oleh maxwell mccombs dan donald shaw dua peneliti dari
universitas north carolina untuk menjelaskan gejala kegiatan kampanye pemilu
yang telah lama diamati dan diteliti oleh kedua sarjana tersebut.
Dalam hal ini,
mc combs dan shaw tidak menyatakan bahwa media secara sengaja berupaya
memengaruhi publik melihat kepada para profesional yang bekerja pada media
massa untuk meminta petunjuk kepada media kemana publik harus memfokuskan
perhatiaanya.
Agenda setting
terjadi karena media massa sebagai penjaga gawang informasi harus selektif
dalam penyampaian berita.
McCombs dan Shaw pertama-tama melihat agenda media. Agenda
media dapat terlihat dari aspek apa saja yang coba ditonjolkan oleh pemberitaan
media terebut. Mereka melihat posisi pemberitaan dan panjangnya berita sebagai
faktor yang ditonjolkan oleh redaksi. Untuk surat kabar, headline pada halaman
depan, tiga kolom di berita halaman dalam, serta editorial, dilihat sebagai
bukti yang cukup kuat bahwa hal tersebut menjadi fokus utama surat kabar
tersebut. Dalam majalah, fokus utama terlihat dari bahasan utama majalah
tersebut. Sementara dalam berita televisi dapat dilihat dari tayangan spot
berita pertama hingga berita ketiga, dan biasanya disertai dengan sesi tanya
jawab atau dialog setelah sesi pemberitaan.
Sedangkan dalam mengukur agenda publik, McCombs dan
Shaw melihat dari isu apa yang didapatkan dari kampanye tersebut. Temuannya
adalah, ternyata ada kesamaan antara isu yang dibicarakan atau dianggap penting
oleh publik atau pemilih tadi, dengan isu yang ditonjolkan oleh pemberitaan
media massa.
McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda-setting
media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap
penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi
prioritas juga bagi publik atau masyarakat.
Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada
teori ini, bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan
media massa hanyalah sebagai cerminan terhadap apa-apa yang memang sudah
dianggap penting oleh masyarakat. Meskipun demikian, kritikan ini dapat
dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja media biasanya memang lebih dahulu
mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat umum.
Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk
menjadi berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang
menjadi berita dan mana yang bukan berita.
Setelah tahun 1990an, banyak penelitian yang
menggunakan teori agenda-setting makin menegaskan kekuatan media massa dalam
mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi
lebih penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang
perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa juga dipercaya mampu
mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan menyebutnya sebagai
framing.
McCombs dan Shaw kembali menegaskan kembali tentang
teori agenda setting, bahwa “the media may not only tell us what to think
about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even
what to do about it” (McCombs, 1997)
Dasar Teori Agenda Setting
Maxwell
McComb dan Donald Shaw mengemukakan bahwa media massa memiliki kemampuan untuk
memindahkan wacana dalam agenda pemberitaan kepada agenda publik. Sesuatu yang
dianggap penting oleh media maka hal tersebut akan menjadi penting untuk
dipublikasikan. Dalam konteks Amerika Serikat dicontohkan bahwa kekuatan pers
di amerika cenderung primordial, mereka membuat agenda sendiri untuk menjadi
bahan diskusi public, mengalahkan semua kekuatan politik dan tidak terbantahkan
oleh semua hukum.
Khalayak dan Agenda Publik
Menurut
Maxwell McComb dan Donald Shaw, khalayak perlu mendapatkan perhatian dalam
kajian agenda setting. Khalayak akan memilih berita yang mereka anggap tidak
membahayakan bagi ideologi mereka. Teori Agenda Setting mencoba mengkaji ulang
penelitian-penelitian media yang selama dua dekade didominasi oleh hipotesa
bahwa khalayak adalah entitas yang pasif. Ada dua sisi yang digunakan teori Agenda
Setting ini untuk mengkaji media yaitu melihat kekuatan dari media dan
kebebasan khalayak untuk memilih.
Dalam kajian
aslinya, Maxwell McComb dan Donald Shaw mengakui bahwa manusia bukanlah entitas
yang hanya menunggu program yang ditawarkan oleh media, sehingga penonton bisa
menjadi lebih waspada terhadap tayangan dibandingkan dengan penonton lainnya.
Untuk mengkaji hal ini, maka Maxwell McComb dan Donald Shaw menggunakan teknik
Uses dan Gratification. Ada dua hal yang disebutkan oleh Maxwell McComb dan
Donald Shaw untuk menunjukkan sebab dari penunjukkan agenda oleh public yaitu
kebutuhan akan orientasi dan indeks dari rasa ingin tahu, dan derajat
ketidakpastian akan membuat penonton hanya terpaku pada satu media untuk
mendapatkan informasi tersebut.
Respon terhadap
kenyataan tersebut adalah terjadinya perubahan orientasi dalam studi agenda
setting bahwa agenda setting bukan hanya suatu gejala
melainkan sebuah proses yang berlangsung terus menerus (on going process).
Berdasarkan perspektif ini, pemenuhan (coverage) variabel dalam studi agenda
setting menjadi sangat luas, karena melibatkan faktor-faktor yang
merupakan bagian dari proses terbentuknya agenda media dan agenda publik dan
sekaligus bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa efek media sangat besar,
kecil, atau tidak ada sama sekali.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi ada tidaknya pengaruh agenda setting (pengaruh
agenda media terhadap agenda publik) disebut faktor kondisional, yang dapat
dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) sebagai berikut:
1. Dari perspektif agenda media adalah sebagai
berikut: framing; priming; frekuensi dan intensitas
pemberitaan/penayangan; dan kredibilitas media di kalangan audiens.
2. Dari perspektif agenda publik adalah
sebagai berikut: faktor perbedaan individual; faktor perbedaan media; faktor
perbedaan isu; faktor perbedaan salience; faktor perbedaan
kultural.
Perbedaan individual, pengaruh agenda setting akan
meningkat pada diri individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu
yang disajikan oleh media massa. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa
perhatian individu terhadap isi media dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, luas
pengalaman, kepentingan, perbedaan ciri demografis, sosiologis.
Bukti-bukti
eksperimental (Iynenger & Kinder, dalam Haryanto:2003) menunjukkan bahwa
efek agenda setting akan meningkat pada individu-individu yang memberikan
perhatian lebih terhadap isu-isu yang dikaji, sedangkan intensitas perhatian
sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan derajat kepentingannya.
Perbedaan
media, yang dimaksudkan disini adalah perbedaan coverage media yang ada
pada komunitas, kelompok masyarakat, wilayah atau negara tertentu. Diyakini
bahwa sekalipun ada kecenderungan uniformitas dalam menyiarkan berita (isu),
namun beberapa media tertentu memberikan tekanan dan porsi yang berbeda dalam
menyiarkan berita. Framing dan priming merupakan salah satu bukti akan hal ini.
Tekanan dan porsi yang berbeda berpengaruh terhadap aseptibilitas agenda media
di kalangan audiens. Ini berarti bahwa media yang lebih diterima
oleh audiens akan mempunyai efek agenda setting yang lebih besar.
Penerimaan
audiens terhadap media merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan
prestige media tersebut di kalangan audiens yang bersangkutan. Berkaitan dengan
masalah ini, diasumsikan bahwa bila media mampu mengangkat prestige audiens
maka efek agenda setting akan meningkat. Hal lain yang bisa mengangkat prestige
media di kalangan audience adalah sirkulasi (nasional, internasional), segemen
pasar (kelas menengah, atas, eksekutif).
Perbedaan
isu, dilihat dari isinya, isu bisa berupa pengungkapan masalah yang sedang
dihadapi oleh individu, kelompok, atau masyarakat, isu juga bisa berupa usulan
solusi untuk memecahkan masalah. Masing-masing jenis isu mempunyai efek yang
berbeda dalam proses agenda setting. Oleh karena itu, seharusnya diberikan
pertimbangan khusus dalam penelitian agenda setting. Sedangkan dilihat dari
jenisnya, isu bisa dibedakan sebagai berikut:
- Obtrusive issues adalah isu-isu yang berkaitan langsung dengan pengetahuan dan
pengalaman individu atau khlayak. Artinya, bahwa pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki oleh khalayak tentang isu yang bersangkuatan
bukan berasal dari media, akan tetapi sudah dimiliki sebelumnya.
Sebaliknya, unobstrusive issues adalah isu-isu yang tidak berkaitan
langsung dengan pengetahuan/pengalaman audiens. Bukti empirik menunjukkan
bahwa efek agenda setting lebih besar ditemukan pada individu-individu
yang mempunyai keterlibatan langsung dengan isu yang disiarkan.
- Selective issues adalah isu-isu atau sejumlah isu yang dipilih secara khusus,
dengan alasan tertentu kemudian diukur pengaruhnya pada khalayak tertentu.
Pemilihan isu(sejumlah isu) bisa dilakuakan dengan melakukan analisa
terhadap isi media massa, kemudian memilih sejumlah diantaranya yang
dianggap lebih menonjol dibandingkan yang lain, atau bisa juga dengan cara
mengambil topik-topik yang sedang menjadi pembicaraan hangat di kalangan
masyarakat.
- Remote issues adalah isu-isu yang sama sekali di luar individu, kelompok, atau
masyarakat, baik secara geografis, psikologis, maupun politis. Bukti-bukti
yang dikumpulkan untuk mengevaluasi pengaruh agenda setting berkaitan
dengan remote issues masih bersifat debatable. Artinya, beberapa temuan
menyebutkan bahwa remote issues mempunyai efek agenda setting lebih besar.
Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, temuan yang lain menyebutkan bahwa
remote issues tidak memunyai efek sama sekali.
Perbedaan salience, yaitu pemilihan isu berdasarkan
perbedaan nilai kepentingan, dilihat dari sisi khalayak; apakah isu yang
dipilih untuk menjangkau kepentingan sosial (komunitas yang lebih luas),
kepentingan interpersonal (keluarga teman bergaul, tempat kerja, dsb.) ataukah
kepentingan individu. Masing-masing pilihan, tentu saja, akan menimbulkan efek
agenda setting yang berbeda. Oleh karena itu sangatlah bijaksana mempertimbangkan
masalah ini dalam studi agenda setting.
Perbedaan kultural, setiap kelompok masyarakat akan
menanggapi dan merespon isu yang sama secara berbeda, yang secara otomatis akan
mempengaruhi efek agenda setting yang ditimbulkan. Teori norma budaya yang
dikembangkan de Fleur (dalam Haryanto, 2003) menyebutkan bahwa pesan-pesan
komunikasi yang disampaikan oleh media massa bisa menimbulkan kesan-kesan
tertentu, yang oleh individu disesuaikan dengan norma-norma budaya yang berlaku
pada masyarakat dimana individu itu tinggal. Sekalipun dipercaya bahwa media
mampu membentuk dan merubah norma baru sebagai acuan hidup bagi kelompok
masyarakat tertentu, namun bukti-bukti yang ditemukan belum sepenuhnya
mendukung hipotesa tersebut. Bukti-bukti empirik yang paling kuat adalah media
massa lebih mudah memperkokoh sistem budaya yang sudah berakar dalam kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, pengukuran efek agenda setting seharusnya
mempertimbangkan dengan hati-hati sistem budaya yang dianut oleh individu,
kelompok atau masyarakat.