Senin, 12 Januari 2015

BAB 11 MEDIA DAN BUDAYA

Studi kultural merupakan tradisi pemikiran yang berakar dari gagasan ahli filsafat Karl Marx yang berpandangan kapitalisme telah telah menciptakan kelompok elite berkuasa yang melakukan eksploitasi terhadap kelompok yang tidak berkuasa dan lemah. Marx berpandangan bahwa pesan yang di sampaikan media massa sejak awal di buat dan di sampaikan kepada khalayak audiensi dengan satu tujuan, yaitu membela kepentingan paham kapitalisme. Walaupun media sering kali mengklaim atau menyatakan bahwa mereka menyampaikan informasi untuk kepentingan publik dan kebaikan bersama (common good), namun meminjam ungkapan populer “ujung-ujungnya duit!” .
Tradisi cultural studies cenderung bersifat reformis. Samuel Becker (1984) menjelaskan bahwa tujuan tradisi kultural, adalah untuk menyadarkan kembali khalayak dan para pekerja media yang di nilai sudah terlalu terlena dengan berbaga ilusi dan rutinitas atau perbuatan yang mereka lakukan agar mereka memepertanyakannya. Studi komunikasi massa menjadi hal yang penting dalam pemikiran studi kultural, dan media di pandang sebagai instrumen yang ampuh bagi ideologi dominan.

DEKODING

Proses dekoding pesan media merupakan hal penting bagi studi kultural. Kita telah mengetahui bahwa masyarakat menerima informasi dalam jumlah besar dari kelompok elite masyarakat yaitu media, dan khalayak secara tidak sadar menerima, menyetujui, atau mendukung apa yang dikemukakan ideologi dominan. Berbagai hubungan sisial secara hierarkis berada dalam masyarakat yang tidak imbang yang mengahasilkan situasi yang dimana mereka yang berada pada kelas sosial renadah harus menerima pesann dari mereka yang berada pada kelas sosial yang lebih tinggi.
Pada saat bersamaan, audiensi akan menggunakan berbagai kategori yang mereka miliki untuk melakukan dekoding terhadap pesan, dan mereka sering kali mengiterprestasikan peran media melalui cara-cara yang tidak di kehendaki oleh sumber pesa sehingga menimbulkan makna yang berbeda. Menurut Hall, khalayak melakukan dekoding terhadap pesan media melalui tiga kemungkinan posisi yaitu: 1) posisi hegemoni dominan; 2) negosiasi; 3) oposisi.
Hall menerima fakta bahwa media membingkai pesan dengan maksud tersembunyi yaitu untuk membujuk, namun demikian khalayak juga memiliki kemampuan untuk menghindari diri dari kemungkinan tertelan oleh ideologi dominan, namun demikian sering kali pesan bujukan yang di terima khalayak mudah di bodohi media namun sering kali khalayak tidak mengetahui bahwa mereka telah terpengaruh dan menjadi bagian dari ideologi dominan.
Tujuan utama studi kultural adalah menunjukkan ada cara-cara bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang brkuasa di masyarakat tanpa sengaja terus-menerus di plihara dan di pertahankan, dan mewujudkan pada cara-cara bagaiman ideologi dominan itu di lawan untuk menghentikan sistem kekuasaan yang telah mengurangi peran kelompok lainnya.
Decoding adalah kegiatan dalam komunikasi yang dilaksanakan oleh penerima pesan (audience, murid) dimana penerima berusaha menangkap makna pesan yang disampaikan melalui lambang-lambang oleh komunikator.
Agar penyampaian pesan pembelajaran mencapai “sharing” yang diinginkan maka dilakukan penyampaian dengan lebih konkret dan jelas, selain dengan memilih lambang verbal yang berada dalam medan pengalaman murid. Misalnya menggunkaan alat peraga dan media pembelajaran seperti chart, diagram, grafik, gambar diam dll.




BAB 10 EFEK MEDIA

Teori Kultivasi

Teori ini disebut juga dengan analisis kultivasi adalah teori yang memperkirakan dan menjelaskan pembentukan persepsi, pengertian dan kepercayaan mengenai dunia sebagai hasil dari mengonsumsi pesan media dalam jangka panjang.
Analisis kultivasi memberikan perhatian pada totalitas dari pola komunikasi yang disajikan tv melalui berbagai tayangan secara kumulatif dalam jangka panjang.
Konsep Dasar Teori Kultivasi
Pada dasarnya, Teori Kultivasi pertama kali di kemukakan oleh George Gerbner bersama rekan-rekannya di Amenberg School of Communication di Pennsylvania pada tahun 1969, dalam sebuah artikel yang berjudul “the television of violence” yang berisikan bagaimana media massa khususnya televisi menampilkan adegan-adegan kekerasan di dalamnya. Teori kultivasi ini muncul dalam situasi pada saat terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini bahwa efek sangat kuat dari media massa.

Teori Kultivasi muncul untuk meyakinkan orang bahwa efek media massa lebih bersifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran social budaya ketimbang individual. Signorielli dan Morgan pada tahun 1990 mengemukakan bahwa analisis kultivasi merupakan tahapan lanjutan dari penelitian efek media yang sebelumnya dilakukan Gerbner yaitu “Cultural Indicator” yang menyelidiki Proses institusional dalam produksi isi media, image atau kesan isi media serta hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.

Dalam penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Gerbner diketahui bahwa penonton Televisi dalam kategori berat mengembangkan keyakinan yang berlebihan mengenai dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sedangkan kekerasan yang mereka saksikan di Televisi menambah ketakutan sosial yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya.

Kajian Teori Kultivasi
Teori Kultivasi menganalisis tayangan televisi telah menjadi teman keseharian oleh kebanyakan orang dalam keluarga di amerika serikat, karena Teori ini memprediksikan dan menjelaskan pembentukan persepsi, pemahaman, dan keyakinan jangka panjang tentang dunia ini sebagai hasil dari mengkonsumsi isi media. Gerbner (1999) mengemukakan bahwa“sebagian besar yang kita ketahui, atau yang kita piker kita ketahui, adalah tidak pernah kita alami sendiri”. Banyak hal yang kita ketahui itu karena yang kita lihat dan kita dengar dari media. Teori Kultivasi terus mengalami evolisi bertahun-tahun lamanya, melalui serangkaian metode dan teori yang dilakukan oleh Gerbner dan rekan-rekannya.


Asumsi Dasar Teori Kultivasi
Terdapat tiga asumsi dasar teori kultivasi yang dikemukakan oleh Gerbner yaitu : 1). Secara Esensial dan Fundamental Televisi berbeda dengan media yang lain. Asumsi ini menunjukkan bahwa spesifikasi keunikan dari Televisi yaitu kelebihan Televisi menjadikannya istimewa seperti televise tidak memerlukan sederetan huruf-huruf seperti halnya media cetak lainnya, televisi bersifat audio dan visual yang dapat dilihat gambar dan suaranya, Televisi tidak memerlukan Mobilitas atau memutar tayangan yang disenangi dan karena aksesibilitas dan avaibilitasnya untuk setiap orang membuat Televisi menjadi pusat kebudayaan masyarakat kita. 2). Televisi Membentuk Cara kita berfikir dan berhubungan. Asumsi ini masih berkaitan dengan pengaruh tayangan Televisi, pada dasarnya Televisi tidak membujuk kita untuk benar-benar meyakini apa yang kita lihat di Televisi, berdasarkan asumsi ini, Teori Kultivasi mensuplay alternative berfikir tentang tayangan kekerasan di Televisi. 3). Televisi Hanya Memberii Sedikit Dampak. Asumsi yang terakhir ini mungkin agak berbeda dengan asumsi dasar Teori Kultivasi, namun Gerbner memberiikan analogi ice age untuk memberi jarak antara teori kultivasi dan asumsi bahwa Televisi hanya memberikan sedikit efek atau dampak. Dalam analogi ice age menganggap bahwa Televisi tidak harus mempunyai dampak tunggal saja akan tetapi mempengaruhi penontonnya melalui dampak kecil yang tetap konstan.
Teori Kultivasi dalam bentuk yang paling dasar menunjukkan paparan bahwa sesungguhnya televisi dari waktu ke waktu, secara halus "memupuk" persepsi pemirsa tentang kehidupan realitas. Teori ini dapat memiliki dampak pada pemirsa TV, dan dampak tersebut akan berdampak pula pada seluruh budaya kita. Gerbner dan Gross (1976) mengatakan "televisi adalah media sosialisasi kebanyakan orang menjadi peran standar dan perilaku. Fungsinya adalah satu, enkulturasi". Televisi memang sudah sangat melekat dikehidupan kita sehari-hari. Dari televisilah kita belajar tentang kehidupan dan budaya. Tontonan seperti acara sinetron maupun reality show yang sering menunjukkan kekerasan, perselingkuhan, kriminal, dan lain sebagainya akan dianggap sebagai gambaran bahwa itulah yang sering terjadi di kehidupan realita. Padahal belum tentu semua yang terdapat pada tayangan itu adalah kejadian-kejadian yang sering terjadi dikehidupan kita. Karena jika ditelaah, semua yang terdapat pada reality show atau sinetron adalah hasil dari skenario belaka. Lebih jauh dalam Teori Kultivasi dijelaskan bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu (1) para pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4(empat) jam setiap harinya. Kelompok penonton ini sering juga disebut sebagai khalayak ‘the television type”, serta 2 (dua) adalah penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya. Dan teori kultivasi ini berlaku terhadap para pecandu / penonton fanatik, karena mereka semua adalah orang-orang yang lebih cepat percaya dan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Pada dasarnya, Teori Kultivasi pertama kali di kemukakan oleh George Gerbner bersama rekan-rekannya di Amenberg School of Communication di Pennsylvania pada tahun 1969, dalam sebuah artikel yang berjudul “the television of violence” yang berisikan bagaimana media massa khususnya televisi menampilkan adegan-adegan kekerasan di dalamnya. Teori kultivasi ini muncul dalam situasi pada saat terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini bahwa efek sangat kuat dari media massa. Teori Kultivasi muncul untuk meyakinkan orang bahwa efek media massa lebih bersifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran social budaya ketimbang individual. Signorielli dan Morgan pada tahun 1990 mengemukakan bahwa analisis kultivasi merupakan tahapan lanjutan dari penelitian efek media yang sebelumnya dilakukan Gerbner yaitu “Cultural Indicator” yang menyelidiki Proses institusional dalam produksi isi media, image atau kesan isi media serta hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak. Dalam penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Gerbner diketahui bahwa penonton Televisi dalam kategori berat mengembangkan keyakinan yang berlebihan mengenai dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sedangkan kekerasan yang mereka saksikan di Televisi menambah ketakutan sosial yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya.

Terdapat tiga asumsi dasar teori kultivasi yang dikemukakan oleh Gerbner yaitu : 1). Secara Esensial Dan Fundamental Televisi Berbeda Dengan Media Yang Lain. Asumsi ini menunjukkan bahwa spesifikasi keunikan dari Televisi yaitu kelebihan Televisi menjadikannya istimewa seperti televise tidak memerlukan sederetan huruf-huruf seperti halnya media cetak lainnya, televisi bersifat audio dan visual yang dapat dilihat gambar dan suaranya, Televisi tidak memerlukan Mobilitas atau memutar tayangan yang disenangi dan karena aksesibilitas dan avaibilitasnya untuk setiap orang membuat Televisi menjadi pusat kebudayaan masyarakat kita. 2). Televisi Membentuk Cara Kita Berfikir Dan Berhubungan. Asumsi ini masih berkaitan dengan pengaruh tayangan Televisi, pada dasarnya Televisi tidak membujuk kita untuk benar-benar meyakini apa yang kita lihat di Televisi, berdasarkan asumsi ini, Teori Kultivasi mensuplay alternative berfikir tentang tayangan kekerasan di Televisi. 3). Televisi Hanya Memberi Sedikit Dampak. Asumsi yang terakhir ini mungkin agak berbeda dengan asumsi dasar Teori Kultivasi, namun Gerbner memberiikan analogi ice age untuk memberi jarak antara teori kultivasi dan asumsi bahwa Televisi hanya memberikan sedikit efek atau dampak. Dalam analogi ice age menganggap bahwa Televisi tidak harus mempunyai dampak tunggal saja akan tetapi mempengaruhi penontonnya melalui dampak kecil yang tetap konstan

BAB 9 MEDIA DAN MASYARAKAT

Teori Agenda Setting
Istilah agenda setting diciptakan oleh maxwell mccombs dan donald shaw dua peneliti dari universitas north carolina untuk menjelaskan gejala kegiatan kampanye pemilu yang telah lama diamati dan diteliti oleh kedua sarjana tersebut.
Dalam hal ini, mc combs dan shaw tidak menyatakan bahwa media secara sengaja berupaya memengaruhi publik melihat kepada para profesional yang bekerja pada media massa untuk meminta petunjuk kepada media kemana publik harus memfokuskan perhatiaanya.
Agenda setting terjadi karena media massa sebagai penjaga gawang informasi harus selektif dalam penyampaian berita.
McCombs dan Shaw pertama-tama melihat agenda media. Agenda media dapat terlihat dari aspek apa saja yang coba ditonjolkan oleh pemberitaan media terebut. Mereka melihat posisi pemberitaan dan panjangnya berita sebagai faktor yang ditonjolkan oleh redaksi. Untuk surat kabar, headline pada halaman depan, tiga kolom di berita halaman dalam, serta editorial, dilihat sebagai bukti yang cukup kuat bahwa hal tersebut menjadi fokus utama surat kabar tersebut. Dalam majalah, fokus utama terlihat dari bahasan utama majalah tersebut. Sementara dalam berita televisi dapat dilihat dari tayangan spot berita pertama hingga berita ketiga, dan biasanya disertai dengan sesi tanya jawab atau dialog setelah sesi pemberitaan.
Sedangkan dalam mengukur agenda publik, McCombs dan Shaw melihat dari isu apa yang didapatkan dari kampanye tersebut. Temuannya adalah, ternyata ada kesamaan antara isu yang dibicarakan atau dianggap penting oleh publik atau pemilih tadi, dengan isu yang ditonjolkan oleh pemberitaan media massa.
McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi prioritas juga bagi publik atau masyarakat.

Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada teori ini, bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan media massa hanyalah sebagai cerminan terhadap apa-apa yang memang sudah dianggap penting oleh masyarakat. Meskipun demikian, kritikan ini dapat dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja media biasanya memang lebih dahulu mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat umum.
Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan mana yang bukan berita.
Setelah tahun 1990an, banyak penelitian yang menggunakan teori agenda-setting makin menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan menyebutnya sebagai framing.
McCombs dan Shaw kembali menegaskan kembali tentang teori agenda setting, bahwa “the media may not only tell us what to think about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it” (McCombs, 1997)

Dasar Teori Agenda Setting
Maxwell McComb dan Donald Shaw mengemukakan bahwa media massa memiliki kemampuan untuk memindahkan wacana dalam agenda pemberitaan kepada agenda publik. Sesuatu yang dianggap penting oleh media maka hal tersebut akan menjadi penting untuk dipublikasikan. Dalam konteks Amerika Serikat dicontohkan bahwa kekuatan pers di amerika cenderung primordial, mereka membuat agenda sendiri untuk menjadi bahan diskusi public, mengalahkan semua kekuatan politik dan tidak terbantahkan oleh semua hukum.

Khalayak dan Agenda Publik
Menurut Maxwell McComb dan Donald Shaw, khalayak perlu mendapatkan perhatian dalam kajian agenda setting. Khalayak akan memilih berita yang mereka anggap tidak membahayakan bagi ideologi mereka. Teori Agenda Setting mencoba mengkaji ulang penelitian-penelitian media yang selama dua dekade didominasi oleh hipotesa bahwa khalayak adalah entitas yang pasif. Ada dua sisi yang digunakan teori Agenda Setting ini untuk mengkaji media yaitu melihat kekuatan dari media dan kebebasan khalayak untuk memilih.

Dalam kajian aslinya, Maxwell McComb dan Donald Shaw mengakui bahwa manusia bukanlah entitas yang hanya menunggu program yang ditawarkan oleh media, sehingga penonton bisa menjadi lebih waspada terhadap tayangan dibandingkan dengan penonton lainnya. Untuk mengkaji hal ini, maka Maxwell McComb dan Donald Shaw menggunakan teknik Uses dan Gratification. Ada dua hal yang disebutkan oleh Maxwell McComb dan Donald Shaw untuk menunjukkan sebab dari penunjukkan agenda oleh public yaitu kebutuhan akan orientasi dan indeks dari rasa ingin tahu, dan derajat ketidakpastian akan membuat penonton hanya terpaku pada satu media untuk mendapatkan informasi tersebut.

Respon terhadap kenyataan tersebut adalah terjadinya perubahan orientasi dalam studi agenda setting bahwa agenda setting bukan hanya suatu gejala melainkan sebuah proses yang berlangsung terus menerus (on going process). Berdasarkan perspektif ini, pemenuhan (coverage) variabel dalam studi agenda setting menjadi sangat luas, karena melibatkan faktor-faktor yang merupakan bagian dari proses terbentuknya agenda media dan agenda publik dan sekaligus bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa efek media sangat besar, kecil, atau tidak ada sama sekali.
            Faktor-faktor yang mempengaruhi ada tidaknya pengaruh agenda setting (pengaruh agenda media terhadap agenda publik) disebut faktor kondisional, yang dapat dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) sebagai berikut:
1.     Dari perspektif agenda media adalah sebagai berikut: framingpriming; frekuensi dan intensitas pemberitaan/penayangan; dan kredibilitas media di kalangan audiens.
2.     Dari perspektif agenda publik adalah sebagai berikut: faktor perbedaan individual; faktor perbedaan media; faktor perbedaan isu; faktor perbedaan salience; faktor perbedaan kultural.
Perbedaan individual, pengaruh agenda setting akan meningkat pada diri individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang disajikan oleh media massa. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa perhatian individu terhadap isi media dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, luas pengalaman, kepentingan, perbedaan ciri demografis, sosiologis.  
Bukti-bukti eksperimental (Iynenger & Kinder, dalam Haryanto:2003) menunjukkan bahwa efek agenda setting akan meningkat pada individu-individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang dikaji, sedangkan intensitas perhatian sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan derajat kepentingannya.
            Perbedaan media, yang dimaksudkan disini adalah perbedaan coverage media yang ada pada komunitas, kelompok masyarakat, wilayah atau negara tertentu. Diyakini bahwa sekalipun ada kecenderungan uniformitas dalam menyiarkan berita (isu), namun beberapa media tertentu memberikan tekanan dan porsi yang berbeda dalam menyiarkan berita. Framing dan priming merupakan salah satu bukti akan hal ini. Tekanan dan porsi yang berbeda berpengaruh terhadap aseptibilitas agenda media di kalangan audiens. Ini  berarti bahwa media yang lebih diterima oleh audiens akan mempunyai efek agenda setting yang lebih besar. 
Penerimaan audiens terhadap media merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan prestige media tersebut di kalangan audiens yang bersangkutan. Berkaitan dengan masalah ini, diasumsikan bahwa bila media mampu mengangkat prestige audiens maka efek agenda setting akan meningkat. Hal lain yang bisa mengangkat prestige media di kalangan audience adalah sirkulasi (nasional, internasional), segemen pasar (kelas menengah, atas, eksekutif).
            Perbedaan isu, dilihat dari isinya, isu bisa berupa pengungkapan masalah yang sedang dihadapi oleh individu, kelompok, atau masyarakat, isu juga bisa berupa usulan solusi untuk memecahkan masalah. Masing-masing jenis isu mempunyai efek yang berbeda dalam proses agenda setting. Oleh karena itu, seharusnya diberikan pertimbangan khusus dalam penelitian agenda setting. Sedangkan dilihat dari jenisnya, isu bisa dibedakan sebagai berikut:
  • Obtrusive issues adalah isu-isu yang berkaitan langsung dengan pengetahuan dan pengalaman individu atau khlayak. Artinya, bahwa pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh khalayak tentang isu yang bersangkuatan bukan berasal dari media, akan tetapi sudah dimiliki sebelumnya. Sebaliknya, unobstrusive issues adalah isu-isu yang tidak berkaitan langsung dengan pengetahuan/pengalaman audiens. Bukti empirik menunjukkan bahwa efek agenda setting lebih besar ditemukan pada individu-individu yang mempunyai keterlibatan langsung dengan isu yang disiarkan.
  • Selective issues adalah isu-isu atau sejumlah isu yang dipilih secara khusus, dengan alasan tertentu kemudian diukur pengaruhnya pada khalayak tertentu. Pemilihan isu(sejumlah isu) bisa dilakuakan dengan melakukan analisa terhadap isi media massa, kemudian memilih sejumlah diantaranya yang dianggap lebih menonjol dibandingkan yang lain, atau bisa juga dengan cara mengambil topik-topik yang sedang menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat.
  • Remote issues adalah isu-isu yang sama sekali di luar individu, kelompok, atau masyarakat, baik secara geografis, psikologis, maupun politis. Bukti-bukti yang dikumpulkan untuk mengevaluasi pengaruh agenda setting berkaitan dengan remote issues masih bersifat debatable. Artinya, beberapa temuan menyebutkan bahwa remote issues mempunyai efek agenda setting lebih besar. Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, temuan yang lain menyebutkan bahwa remote issues tidak memunyai efek sama sekali.

Perbedaan salience, yaitu pemilihan isu berdasarkan perbedaan nilai kepentingan, dilihat dari sisi khalayak; apakah isu yang dipilih untuk menjangkau kepentingan sosial (komunitas yang lebih luas), kepentingan interpersonal (keluarga teman bergaul, tempat kerja, dsb.) ataukah kepentingan individu. Masing-masing pilihan, tentu saja, akan menimbulkan efek agenda setting yang berbeda. Oleh karena itu sangatlah bijaksana mempertimbangkan masalah ini dalam studi agenda setting.
Perbedaan kultural, setiap kelompok masyarakat akan menanggapi dan merespon isu yang sama secara berbeda, yang secara otomatis akan mempengaruhi efek agenda setting yang ditimbulkan. Teori norma budaya yang dikembangkan de Fleur (dalam Haryanto, 2003) menyebutkan bahwa pesan-pesan komunikasi yang disampaikan oleh media massa bisa menimbulkan kesan-kesan tertentu, yang oleh individu disesuaikan dengan norma-norma budaya yang berlaku pada masyarakat dimana individu itu tinggal. Sekalipun dipercaya bahwa media mampu membentuk dan merubah norma baru sebagai acuan hidup bagi kelompok masyarakat tertentu, namun bukti-bukti yang ditemukan belum sepenuhnya mendukung hipotesa tersebut. Bukti-bukti empirik yang paling kuat adalah media massa lebih mudah memperkokoh sistem budaya yang sudah berakar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pengukuran efek agenda setting seharusnya mempertimbangkan dengan hati-hati sistem budaya yang dianut oleh individu, kelompok atau masyarakat.


BAB 8 TEORI ORGANISASI

Teori Strukturasi

                Giddens menyatakan bahwa strukturisasi merupakan proses yang mana konsekuensi tindakan yang tidak disengaja atau struktur sosial lainnya yang akan menghambat atau memengaruhi tindakan dimasa depan. Marshal scott poole dan robert mcphee menggunakan gagasan anthony giddens dan menerapkan nya dalam komunikasi organisasi.
            Struktur organisasi tercipta ketika individu berkomunikasi dengan individu lainnya pada perumpamaan tiga, lokasi, pusat strukturasi yaitu, lokasi konsepsi, lokasi implementasi, lokasi resepsi.
-          Lokasi konsepsi
Mencakup seluruh episode atau waktu hidup organisasi ketika orang membuat keputusan dan pilihan yang membatasi apa yang dapat terjadi dalam organisasi.
-          Lokasi implementasi
Penulisan atau kodifikasi formal yang dilanjutkan dengan pengumuman surat keputusan diambil untuk membuka kantor cabang baru maka surat pemberitahuan dikirimkan kepada semua pihak yang berkepentingan.
-          Lokasi resepsi
Strukturasi terjadi ketika anggota organisasi bertindak sesuai dengan keputusan organisasi.

Menurut Barker (2011) Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut:Pertama, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.
Kasus yang mendukung konsepsi subjek sebagai agen aktif dan mengetahui banyak hal secara konsisten telah dikemukakan Giddens, yang merupakan serang kritikus Foucault yang paling lantang karena ia menghapus agen dari dari retetan sejarah. Giddens mengambil pandangan Garfinkel (1967), berpendapat bahwa tatanan sosial dibangun di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas sehari-hari dan memberikan penjelasan (dalam bahasa) tentang aktor atau anggota masyarakat yang ahli dan berpengalaman. Sumber daya yang diambil oleh sang aktor, dan dibangun olehnya adalah karaker sosial, dan memang struktur sosial (atau pola aktivitas teratur) menyebarkan sumber daya dan kompetensi secara sosial, yang berbeda dengan menjadi subjek aksi dengan segala macam individu, beroperasi untuk menstrukturkan apa itu aktor. Sebagai contoh, pola-pola harapan tentang apa yang dimaksud dengan menjadi key person, dan praktik yang terkait dengan etnisitas, mengkonstuksi seaorang key person sebgai subjek yang sepenuhnya berbeda.
Subjektivitas yang dititik beratkan pada etnisitas pada gilirannnya memberdayakan kita untuk bertindak bedasarkan fakta sosial tertentu. Sejalan dengan itu, masalah-masalah mengenai bagaimana seorang aktor bias memperngaruhi keadaan atau bahkan kualitas lingkungan tak pelak turut menjadi kajian kotemporer yang juga bisa dikaji secara mikro kemudian menjadi makro.
Sekadar untuk menekankan saja bahwa teori strukturasi terpusat pada cara agen memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri. Aktivitas-aktivitas manusia yang teratur tidak diwujudkan oleh aktor-aktor individual, melainkan terus-menerus diciptakan dan diulang oleh mereka melalui cara mereka mengekspresikan diri sebagai aktor. Jadi, di dalam dan melalui aktivitas, agen mereproduksi sejumlah kondisi yang memungkinkan aktivitas-aktivitas semacam itu. Setelah dibentuk sebagai seorang key person oleh sejumlah harapan dan praktik yang dipadukan dengan kesadaran bersama, setelah belajar dan menginternalisasikan nilai serta aturan, maka kita bertindak sesuai dengan aturan-aturan itu, mereproduksi aturan itu lagi. Di mana aturan yang mengikat tersebut kembali menjadikan masyarakat di sekitarnya turut melembagakan kekangan walaupun pada akhirnya munculnya kuasa mampu menembus peraturan yang mereka buat sendiri.
Di sini struktur ternyata sebagai sesuatu yang bersifat eksternal bagi tindakan manusia, sebagai sumber yang mengekang kekuasaan subjek yang disusun secara mandiri. Sebagaimana yang dikonseptualisasikan dalam pemikiran strukturalis dan post-strukturalis, gagasan struktur ternyata lebih menarik. Dalam hal ini struktur secara khas dianggap bukan sebagai pembuat pola kehadiran seorang melainkan sebagai titik simpang antara kehadiran dan ketidakhadiran. Kode-kode dasar harus disimpulkan dari manifestasi-manifestasi yang merekat (Giddens, 2011: 20). Sehingga batas-batas antara keduanya bisa diidentifikasi dengan jelas pada pembahasan selanjutnya.
Dua ide tentang struktur tersebut sekilas tampak tidak ada kaitannya satu sama lain, namun nyatanya masing-masing berhubungan dengan aspek-aspek penting dari struktur hubungan-hubungan sosial, aspek-aspek yang dalam teori strukturasi dapat dipahami dengan menganalisis perbedaan antara konsep struktur dengan sistem. Dalam menganalisis hubungan-hubungan sosial, kita harus mengakui dimensi sintagmatig, suatu pola hubungan sosial dalam ruang dan waktu yang melibatkan urutan sebenarnya dari mode-mode pengembangan struktur yang secara reikursif diimplikasikan dalam proses-proses reproduksi. Dalam tradisi strukturalis, biasanya terdapat ketaksaan (ambiguity) perihal apakah struktur mengacu secara terbuka pada suatu matriks transformasi di dalam seperangkat aturan-aturan transformasi yang menentukan matriks tersebut. Paling  idak dari makna dasarnya, saya mempeelakukan matriks sebagai sesuatu yang mengacu pada aturan-aturan dan sumber daya-sumber daya seperti itu.
Salah satu gagasan paling penting dalam referensi tentang komunikasi organisasi adalah bahwa komunikasi bukan semata-mata sesuatu yang dilakukan oleh para organisasi, bukan pula merupakan alat untuk menyelesaikan suatu persoalan. Namun, komunikasi itu sendiri lebih dipandang sebagai suatu peroses pengorganisasian. Dalam bahasan ini, kita akan menyimak dua teori yang dikemukakan oleh carl weick dan marshall scott poole m engenai teori pengoganisasian, serta teori strukturasi dalam organisasi yang merupakan hasil pemikiran Robert D. McPhee.
Teori pengorganisasian memandang organisasi bukan sebagai struktur atau kesatuan, tetapi suatu aktivitas. Oleh karena itu, lebih sesuai untuk disebut sebagai ‘pengorganisasian’  dari organisasi, sebab organisasi adalah sesuatu akan yang dicapai dalam sekelompok orang melalui proses yang terus menerus dilaksanakan.. jadi ketika sekelompok orang melakukan apa yang mereka lakukan, dalam arti aktivitas mereka menciptakan organisasi, maka pengorganisasian dilakukan secara berkesinambungan.
Esensi dari setiap organisasi adalah bahwa orang bertindak atau beraksi dalam suatu cara tertentu, sehingga perilaku mereka saling terkait. Dalam deskripsi yang konkret, perilaku seseorang bergantung pada perilaku orang lain. Ukuran dasar dari perilaku yang saling terkait tersebut adalah, bahwa komunikasi memainkan peran diantara orang-orang dalam organisasi. Jadi aktivitas pengorganisasian terdiri dari interaksi ganda yaitu suatu tindakan yang diikuti oleh suatu respon dan kemudian tindakan penyesuaian oleh orang pertama. Contoh; seorang pimpinan meminta sekertrisnya untuk melakukan sesuatu (aksi). Karena belum paham, sekertaris meminta penjelasan kepada, pimpinannya (interaksi), dan pimpinan tersebut menjelaskan kembali perintahnya tersebut (interaksi ganda). Weick sangat meyakini bahwa segala aktivitas pengorganisasian adalah interaksi ganda, karena dari akativitas seperti yang dicontohkan diatas, suatu organisasi dibangun.
Pemikiran strukturasi dalam organisasi yang di kemukakan Poole dan McPhee, dijelaskan bahwa stuktur organisasi diciptakan ketika sekelompok orang saling berkomunikasi melalui saluran tertentu. Komunikasi tersebut terjadi dalam tiga tempat atau pusat pusat dari strukturasi, yaitu konsepsi, implementasi dan penerimaan (reception). Pertama adalah tempat dari ‘konsepsi’ yang meliputi seluruh bagian dari kehidupan organisasi dimana orang orang membuat berbagai keputusan dan pilihan. Contoh; ketika sebuah panitia yang dibentuk oleh pimpinan universitas memutuskan untuk mendirikan sebuah jurusan baru dilingkungan universitas tersebut, maka alut komunikasi selanjutnya dalam fakultas tersebut akan ‘ distrukturkan’ oleh keputusan yang telah dibuat tersebut.
Tempat yang kedua dari strukturasi organisas adalah ‘implementasi’, yaitu kodifikasi formal dan oemberitahuan mengenai berbagai keputusan dan pilihan. Contoh; sekali keputusan telah diambil untuk mendrikan keoutusan baru, maka pimpina universitas akan mengeluarkan memorandum resmi kepada fakultas yang memberitahukan adanya perubahan. Pemberitahuan resmi itu sendiri akan berguna untuk mempertegas organisasi tersebut dimasa mendatang

Struktur yang ketiga terjadi ditempat penerimaan (reception) yaitu ketika para anggota kelompok bertindak dengan menyesuaikan diri kepada keputusan-keputusan organisasi. Dalam uraian yag lebih konkret,  setelah diambil keputusan untuk menjadikan jurusan baru, maka akan diangkat seorang ketua jurusan dan karenanya alur komuniksi dalam fakultas akan mengalami perubahan.